Ketika aku tahu, aku punya penyakit ini, aku yakin pasti hidupku tidak akan lama lagi. Aku tidak mau keluargaku mengetahui pernyakitku ini, maka dari itu aku terus berusaha menahannya. Tidak ada satupun orang yang tahu akan ini, kecuali dokter yang memeriksaku. “Kamu harus di operasi sebelum bibit kanker yang ada di hatimu menyebar.”, Kata dokter Hadi kepadaku. Aku hanya menunduk, tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Aku ceritakan semuanya ke dokter Hadi, dia sedikit mengerti, tapi dia tetap menyuruhku untuk mengatakan yang sejujurnya kepada kedua orang tuaku. Sejenak aku berpikir, lalu keluar dari ruangan itu.
Di jalan, aku bertemu dengan Chika, dia sahabatku mulai dari kecil. Diapun tidak tahu akan penyakitku ini, karena aku tidak pernah cerita apapun tentang ini, takutnya dia memberitahu keluargaku. “Chika!”, Teriakku memanggilnya. Aku lihat dia tidak sendiri, dia bersama Leon, pacarnya. “Eh, kamu Bel! Kamu dari mana? Mama kamu tadi telfon aku, dia nyariin kamu.”, Kata Chika dengan tersenyum padaku. “Aku habis dari rumah sakit.” Ops, aku keceplosan. “Emang siapa yang sakit?”, Tanyanya menanggapi omonganku. “Temanku!”, Jawabku berbohong. “Owalah, terus kamu mau kemana ini?”, Lanjutku. “Ini mau nonton barena Leon. Kamu mau ikut?”, Jawab Chika. Aku hanya menggelengkan kepala.
“Bella, kamu dari mana?”, Tanya Mama seraya mengelus lembut rambutku. “Bella habis jenguk teman Ma.”, Jawabku yang lagi-lagi bohong. “Kenapa nggak izin Mama?”, Tanya Mama yang semakin membingungkanku. “Ya, maaf Ma. Tadi Bella keburu-buru!”. “Ya sudah, kamu ganti baju yang cantik ya, mau ada tamu”. “Emang siapa Ma?”. “Teman Mama.” “Tante Echi??”. “Iya”, Jawab Mama seraya membereskan meja makan. “Sama Deni dong?”, Tanyaku. “Iya, iya!”, Jawab Mama yang membuatku senangnya minta ampun. Deni adalah teman kecilku semasa TK. Dia yang selalu bermain denganku, sebelum dia pindah keluar kota.
“Bella!!”, Panggil Mama dari ruang tamu. “Iya, Ma. Bentar.”, Jawabku seraya keluar dari kamar. “Eh tante Echi!”. “Wah, Bella sudah besar ya? Hehe”. “Tante ini ada-ada saja.”, Jawabku sedikit malu. “Benar kok sayang. Dulu terakhir tante ketemu kamu, kamu masih kecil. hehe”. “Hehe, tante ini. Kan Bella juga pengen gede tante.”, Jawabku dengan semakin malu. “Deni mana tante?”, Lanjutku dengan mataku mencari-cari. “Deni di luar, kamu samperin aja!”, Kata tante Echi seraya menunjuk ke arah jendela.
“Hei!”, Sapaku ketika melihat sosok cowok yang dari potongan rambutnya seperti Deni. “Hei Bel!”, Jawabnya seraya berbalik badan ke arahku. “Wah, kamu nggak banyak berubah.”, Kataku sambil menepuk bahunya. “Kamu juga Bel, gimana nih, sudah punya cowok dong? Hehe”, Tanya Deni. Sejenak mataku kabur, dadaku sangat sakit. Aku tak kuasa menjawab pertanyaan Deni.
“Sayang. Bella, anak Mama. Kenapa sayang?”, Sedikit demi sedikit aku membuka mata dan melihat Mama, tante Echi, dan Deni di sampingku. “Bella nggak pa-pa Ma.”, Jawabku sedikit serak. “Mama panggil dokter yan sayang?”. “Nggak perlu Ma, Bella nggak pa-pa. Tadi cuma pusing aja.”. “Bener sayang?”. “Bener Ma.”. “Bella kalau sakit bilang ya ke Mama!”. Aku hanya menganggukkan kepala. “Siang tante!”, Terdengar suara dari balik pintu kamarku. Itu seperti suara Chika, dan ternyata benar. “Kamu nggak pa-pa Bel?”, Tanya Chika dengan sedikit khawatir. “Aku nggak pa-pa kok!”.
Aku mendengarnya memanggilku. Itu suara Papa. Aku yakin sekali kalau itu suara Papa. “PAPA!”, Teriakku dan lekas bangun dari tidurku. “Kenapa Bel? Kamu kenapa?”, Tanya Mama yang juga terbangun. Aku mengusap wajahku, dan ku lihat jam dinding. Menunjukkan pukul tiga pagi. “Bella mimpi Papa manggil Bella Ma.”, Jawabku dengan wajah bertanya-tanya. “Sudahlah, itu cuma mimpi. Sekarang kamu tidur lagi. Kalau besok kamu masih nggak enak badan, biar Mama buat surat izin.”, Kata Mama seraya memelukku. ‘Aku benar-benar sayang Mama, aku nggak mau Mama terpuruk ketika tahu aku sakit dan umurku tinggal beberapa hari lagi.’, Ujarku dalam hati ketika Mama memelukku.
“Ma, Bella sekolah ya? Hari ini Bella ada ulangan Ma.”, Kataku seraya duduk di depan meja makan. Mama menyiapkan roti. “Iya sudah kalau itu mau kamu. Ini Mama bawakan bekal.”, Jawab Mama seraya menyodorkan kotak makan kepadaku. “Makasih ya Ma. Bella sayang sekali sama Mama!”, Kataku lalu mencium pipi kanan Mama. “Iya sayang!”, Jawab Mama seraya mencium dahi dan pipiku. “Ma, Bella berangkat ya!”. “Kamu di anter pak Supri (supir pribadi Mama) ya sayang!”, Kata Mama ke arahku. “Nggak usah Ma, Bella berangkat sendiri aja!”. GRENG. “Itu suara motor siapa Bel?”, Tanya Mama di ruang makan. “Itu Deni Ma. Ngapain dia kesini ya Ma?”. “Paling mau bareng sama kamu sayang! Dia kan mulai hari ini satu sekolah sama kamu Bel!”. “Oooo”.
“Bareng aku yuk Bel?”,Kata Deni menawarkan tumpangan. Aku masih mengunci pagar rumah. “Aku nggak punya helm!”, Jawabku dengan wajah memelas. “Ni aku bawain!”, Ucap Deni dengan senyumnya. Aku hanya membalasnya dengan senyum pula. Aku ambil helm dari tangan Deni. Di tengah perjalanan, “Bel, aku masuk kelas sebelas IPA enam. Kalau kamu Bel?”, Tanya Deni. “Aku anak sebelas IPA empat.”, Jawabku dengan singkat. “Wah, aku pindah kelas aja ya. Aku ingin satu kelas sama kamu.”, Kata Deni sambil tertawa kecil. “Kamu nggak ada bedanya, masih kayak anak kecil tau nggak sih? Tapi aku senang loh, bisa berangkat bareng lagi. Meskipun sekarang beda.”, Kataku panjang lebar. “Emang apa bedanya Bel?”, Tanya Deni. “Ya beda dong! Dulu kita berangkat bareng pakai sepeda roda tiga, sekarang roda dua! Haha”, Aku tertawa bebas dan Deni pun begitu. “Kamu masih seperti Bella yang ku kenal! Bisa saja memnbuat orang tertawa. Haha”.
“Pak, saya ingin pindah ke kelas IPA empat. Apa boleh?”, Tanya Deni kepada bapak kepala sekolah. “Boleh kok! Karena kebetulan anak IPA empat juga ada yang pindah kelas.”, Jawab pak kepala sekolah yang membuat Deni semakin menebarkan senyum. Di kantin, Deni menghampiriku dan Chika yang sedang menyantap makanan. “Hei Bel. Aku sekelas sama kamu loh!”, Sapa Deni seraya tersenyum padaku. Serentak aku dan Chika merasa aneh dan kaget. “APA??”, Kataku berbarengan dengan Chika. “Kalian kok kaget gitu?”, Tanya Deni. “Nggak senang ya?”, Lanjutnya. “Haha. Asik dong kalau gitu. Jadi kita nambah teman lagi buat ketawa bareng di kelas!”, Kata Chika dengan gayanya yang sok-sokan. Aku menepuk bahu Chika dan berbisik, “Perutku sakit banget Chik!”. Dan seketika penglihatanku mengabur.
Aku tidak menyangkah, setelah aku membuka mata. Mama, Chika, Leon, tante Echi, dan Deni sudah ada di sampingku. Ini ada apa? Mama menangis itu terlihat jelas di mataku. Tante Echi merangkulnya dan berucap, “Saya turut berduka cita ya mbak!”. Aku sangat bingung. Aku melihat diriku terbaring di tengah-tengah mereka. Aku berusaha menarik Chika, tapi Chika tidak merespon. Aku teriak pun tak ada yang mendengar. Aku memeluk Deni, tapi aku tidak merasakan apa-apa. Ini kenapa? Aku sungguh tak mengira, aku telah meninggalkan mereka, untuk selamanya.
Comments
Post a Comment