Menemuiku memang bukan pengalaman pertama baginya,
begitupun aku menjemputnya bukanlah hal yang asing. Hanya dua kali dalam
setahun kami bertemu, tidak membuat jarak tampak jelas. Dia bukan sosok yang
aku kagumi layaknya bintang iklan, tapi karena bertemu dengannya membuka mataku
tentang sisi lain seorang bintang. Orang tua yang mulai mengkhawatirkan
anaknya, saat itu telah tiba. Dari memikat hingga mengikat, aku tidak pernah
meragukan hubungan ini karena kami tulis ceritanya bersama. Dan ini awalnya.
Sore itu aku menjemputnya seperti biasa, di salah
satu Stasiun di pinggir kota Surabaya. Wajahnya yang lagi-lagi menarikku untuk
selalu tersenyum ketika melihatnya. Bulu mata yang lentik itu tak lama membuat
aku terpikat olehnya.
“Sudah
lama nunggunya?”, tanyanya sembari menarik tanganku .
“Lumayan, ayo! Disana mobilnya”, jawabku dengan
menunjuk arah.
Kami pergi ke salah satu tempat
makan untuk bertemu dengan orang tuaku. Ada beberapa hal yang dia sampaikan ke
orang tuaku yang entah apa itu. Tapi itu tidak membuatku ragu tentangnya
ataupun tanggapan orang tuaku nanti. Kami memesan makanan terlebih dahulu
karena ternyata kami datang lebih dulu daripada kedua orang tuaku.
“Kamu mau makan apa?”, tanyaku padanya yang membuka
buku menu.
“Terserah kamu aja deh”, jawabnya singkat.
Aku memutuskan untuk telfon ke ibuku
untuk menuntukan apa yang akan mereka pesan, agar nanti kami bisa langsung
makan bersama tanpa menunggu lagi. Ternyata tidak lama, setelah makanan
disajikan, orang tuaku pun datang dan duduk tepat di depan kami. Setelah makan
selesai, dia memulai untuk berbicara mengenai hubungan kami.
“Om, bu, saya berniat untuk mengikat Vina sebelum
akhirnya saya akan menikahinya”, kata-katanya membuat aku tersentak meski dalam
hati.
Aku yakin bukan hanya aku yang kaget akan
keputusannya, tapi juga orang tuaku. Sempat aku bertanya-tanya dalam hati apa
ini waktu yang tepat, atau ini keputusan yang terburu-buru.
“Kapan itu rencananya?”, tanya Ayah kepadanya.
“Sesuai rencana saya 3 bulan kedepan”, jawabannya
sangat tegas dan lagi-lagi membuat aku tersentak.
Bukan aku tak menginginkan ini terjadi, tapi aku
rasa ini terlalu terburu-buru dan berlebihan. Tiga bulan bukan waktu yang
panjang untuk mempersiapkan semuanya. Tapi melihat senyum itu, mengalihkan
pikiranku untuk berpikir terlalu jauh. Ibu dan Ayahku merasa senang akan
keputusan yang dia buat, dia terlihat menyakinkan kedua orang tuaku dengan baik
dan aku tidak ingin merusaknya. Keputusan yang dia buat membuat aku merasa
hanya aku yang ada di hatinya selama ini. Orang tuaku setuju akan keputusan
dia, dan hubungan kami direstui sampai hari itu tiba.
Comments
Post a Comment